Ustadz Khalid Syamhudi
Allah سبحانه وتعالى tidak merubah keadaan suatu kaum yang berada dalam kenikmatan dan kesejahteraan, sehingga mereka merubahnya sendiri. Juga tidak merubah suatu kaum yang hina dan rendah, kecuali mereka merubah keadaan mereka sendiri. Yaitu dengan menjalankan sebab-sebab yang dapat mengantarnya kepada kemulian dan kejayaan. Inilah yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya:
﴿ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ ﴾
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS ar-Ra’d/13:11).
Dalam ayat yang mulia ini terkandung penjelasan, bahwasanya semua perkara di seluruh dunia ini terjadi dengan taqdir dan perintah-Nya. Namun Allah سبحانه وتعالى telah menjadikan sunnahsunnah (ketetapan-ketetapan) kauniyah dan syari’at dalam merubah nasib suatu kaum. Sehingga umat yang menjalankan sunnah-sunnah kauniyah dan syari’at untuk kejayaan, maka Allah سبحانه وتعالى merubahnya menjadi jaya. Demikian juga sebaliknya, apabila mereka menjalankan sunnahsunnah Allah untuk kerendahan dan kehinaan, maka Allah menjadikan mereka hina dan rendah. Hal ini telah terjadi pada umat-umat terdahulu, yang semestinya menjadi pelajaran bagi umat manusia pada zaman sesudahnya.
KEHANCURAN UMAT NABI NUH عليه السلام
Manusia hidup beberapa kurun setelah Adam. Mereka bersatu dan berjalan di atas petunjuk Allah سبحانه وتعالى , hingga kemudian terjadi penyimpangan di kalangan mereka. Yaitu mereka melakukan penyembahan kepada patung orangorang shalih yang bernama Wadd, Suwa‘, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr. Maka diutuslah seorang nabi ke tengah mereka, yang dikenal dengan kejujuran, sifat amanah dan kemuliaan akhlaknya. Yakni Allah mengutus Nabi Nuh عليه السلام , untuk mengajak kaumnya agar beribadah hanya kepada Allah. Allah berfirman, yang artinya: Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan memerintahkan): “Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepadanya adzab yang pedih”. Nuh berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepadamu, (yaitu) sembahlah olehmu Allah, bertakwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaku, niscaya Allah akan mengampuni sebagian dosadosamu dan menangguhkan kamu sampai kepada waktu yang ditentukan. Sesungguhnya ketetapan Allah apabila telah datang tidak dapat ditangguhkan, kalau kamu mengetahui”. (QS Nuh/71:1-4).
Namun ajakan Nabi Nuh عليه السلام ini disambut dengan hinaan dan hujatan, bahwa beliau sudah sesat. Diceritakan dalam firman Allah سبحانه وتعالى , yang artinya: Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata: “Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Ilah bagimu selainNya. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa adzab hari yang besar (kiamat)”. Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata: “Sesungguhnya kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata”. (QS al A’raf/7:59-60).
Lalu Nabi Nuh عليه السلام pun memberikan jawaban, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah سبحانه وتعالى , yang artinya: Nuh menjawab: “Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikitpun, tetapi aku adalah utusan dari Rabb semesta alam. Aku sampaikan kepadamu amanat-amanat Rabbku dan aku memberi nasihat kepadamu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui”. Dan apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepadamu peringatan dari Rabbmu dengan perantaraan seorang laki-laki dari golonganmu agar dia memberi peringatan kepadamu, dan mudah-mudahan kamu bertakwa dan supaya kamu mendapat rahmat. (QS al A’raf/7:61-63).
Namun mereka tetap mendustakan dan kufur terhadap Allah سبحانه وتعالى , hingga kemudian Allah selamatkan Nabi Nuh beserta pengikutnya dan tenggelamkan orang-orang yang membangkang. Allah menceritakan dalam firman-Nya, yang artinya:
Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya). (QS al A’raf/7:64).
KEHANCURAN UMAT NABI HUD عليه السلام
Allah سبحانه وتعالى mengutus Nabi Hud عليه السلام kepada kaum ‘Ad yang menghuni daerah al Ahqaf di sekitar Hadhramaut, Yaman. Suatu kaum yang dikaruniani kelebihan dalam hal kekuatan, perawakan dan kekuasaan, namun mereka berbuat syirik dan melakukan kediktatoran, kezhaliman dan menjajah hamba-hamba Allah. Kaum ‘Ad berkata: “Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami”. (QS Fushshilat/41:15).
Allah mengisahkan perdebatan antara Nabi Hud عليه السلام dengan kaumnya dalam firman-Nya dalam surat al A’raf/7 ayat 65-71, yang artinya:
Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Ad saudara mereka, Hud. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Ilah bagimu selain-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?”
Pemuka-pemuka yang kafir dari kaumnya berkata: “Sesungguhnya kami benar-benar memandang kamu dalam keadaan kurang akal, dan sesungguhnya kami menganggap kamu termasuk orang-orang yang berdusta”.
Hud berkata: “Hai kaumku, tidak ada padaku kekurangan akal sedikitpun, tetapi aku ini adalah utusan dari Rabb semesta alam. Aku menyampaikan amanat-amanat Rabbku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasihat yang terpercaya bagimu”.
Apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepadamu peringatan dari Rabbmu yang dibawa oleh seorang laki-laki di antaramu untuk memberi peringatan kepadamu. Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Rabb telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
Mereka berkata: “Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami, maka datanglah adzab yang kamu ancamkan kepada kami jika kamu termasuk orang-orang yang benar”.
Ia (Hud) berkata: “Sungguh sudah pasti kamu akan ditimpa adzab dan kemarahan dari Rabbmu. Apakah kamu sekalian hendak berbantah dengan aku tentang nama-nama (berhala) yang kamu dan nenekmu menamakannya, padahal Allah sekali-kali tidak menurunkan hujjah untuk itu. Maka tunggulah (adzab itu), sesungguhnya aku juga termasuk orang yang menunggu bersama kamu”.
Bahkan mereka menantang didatangkan adzab Allah sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah, yang artinya: Mereka menjawab: “Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari (menyembah) ilah-ilah kami? Maka datangkanlah kepada kami adzab yang telah kamu ancamkan kepada kami jika kamu termasuk orang-orang yang benar”. (QS al Ahqaf/46:22).
Setelah itu Allah mendatangkan adzab yang membentang di ufuk pada waktu mereka sangat membutuhkan hujan. Datanglah awan yang mereka anggap sebagai tanda datangnya nikmat hujan yang mereka nantikan, namun ternyata adalah adzab Allah kepada mereka. Allah berfirman, yang artinya: Maka tatkala mereka melihat adzab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami”.(Bukan)! Bahkan itulah adzab yang kamu minta supaya datang dengan segera, (yaitu) angin yang mengandung adzab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Rabbnya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa. (QS al Ahqaf/46:24-25).
Dalam ayat lain, yaitu dalam surat al Haqqah ayat 6 – 8, Allah menjelaskan keadaan mereka, yang artinya:
Adapun kaum ‘Aad maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang. yang Allah menimpakan angin itu kepaxa mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus; maka kamu lihat kamu ‘Aad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tanggul-tanggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk). Maka kamu tidak melihat seorangpun yang tinggal di antara mereka.
Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di mengatakan, setelah mereka menguasai dunia dan mencapai kemulian, semua kebutuhan hidup terpenuhi, daerah dan kabilah di sekelilingnya tunduk kepada mereka, tiba-tiba Allah mengirim angin yang sangat dingin dan kencang saat hari-hari bencana tersebut agar mereka merasakan kehinaan di dunia, dan adzab akhirat lebih menghinakan lagi.1
Kaum Nabi Hud عليه السلام dihancurkan Allah dengan angin yang sangat kencang dan dingin selama tujuh malam delapan hari, disebabkan kekufuran dan kemaksiatan mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya.
KEHANCURAN UMAT NABI SHALIH عليه السلام
Kaum Tsamud adalah satu suku terkenal yang tinggal di daerah al Hijr yang berada antara al Hijaz dengan Tabuk. Mereka adalah kaum setelah kaum ‘Ad dan menyembah berhala.
Tempat tinggal mereka terkenal sebagai daerah agraris. Mereka bercocok tanam dan beternak. Mereka betul-betul dipenuhi dengan kenikmatan, sehingga mereka membuat istana-istana yang megah di dataran, dan daerah perbukitan mereka bentuk rumah-rumah yang dipahat dengan indahnya. Namun mereka mengkufuri nikmat tersebut dan menyembah selain Allah. Kemudian Allah mengutus Nabi Shalih yang telah terkenal nasabnya, kedudukannya yang tinggi, kemulian akhlaknya, kejujuran dan amanahnya untuk menyeru kepada tauhid dan meninggalkan sesembahan selain Allah.
Mendengar seruan Nabi Shalih ini, mereka melakukan penolakan terhadap ajakan beliau. Allah menceritakan dalam firman-Nya, yang artinya:
Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka, Shalih. Ia berkata:
“Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Ilah bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Rabbmu. Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya, dengan gangguan apapun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih”.
“Dan ingatlah olehmu di waktu Allah menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum ‘Ad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah, maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan”.
Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka: “Tahukah kamu bahwa Shalih diutus (menjadi rasul) oleh Rabbnya?”
Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu, yang Shalih diutus untuk menyampaikannya,”
Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: “Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu imani itu,” kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan mereka berlaku angkuh terhadap perintah Rabb. Dan mereka berkata: “Hai Shalih, datangkanlah apa yang kamu ancamkan itu kepada kami, jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang diutus (Allah)”. (QS al A’raf/7:73-77).
Kemudian Nabi Shalih menjawab: “Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah janji yang tidak dapat didustakan”. – QS Hud/11 ayat 65. Mendengar seruan itu, mereka pun berkeinginan membunuh Nabi Shalih sebagaimana membunuh onta tersebut. Allah menceritakan dalam firman-Nya, yang artinya: Mereka berkata: “Bersumpahlah kamu dengan nama Allah, bahwa kita sungguh-sungguh akan menyerangnya dengan tiba-tiba beserta keluarganya di malam hari, kemudian kita katakan kepada warisnya (bahwa) kita tidak menyaksikan kematian keluarganya itu, dan sesungguhnya kita adalah orang-orang yang benar”. (QS an-Naml/27:49).
Maka Allah menjawab dengan firman-Nya, yang artinya: Dan mereka pun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak menyadari. Maka perhatikanlah betapa sesungguhnya akibat makar mereka itu, bahwasanya Kami membinasakan mereka dan kaum mereka semuanya. Maka itulah rumah-rumah mereka dalam keadaan runtuh disebabkan kezhaliman mereka. Sesungguhnya pada demikian itu (terdapat) pelajaran bagi kaum yang mengetahui. (QS an-Naml/ 27:50-52).
Allah mengirimkan batu besar kepada orangorang yang bermaksud membunuh Nabi Shalih, dan menimpa mereka, sehingga mereka semua binasa sebelum kebinasaan kaumnya.2 Sedangkan kaum Tsamud, mereka menunggu tiga hari setelah peringatan Nabi Shalih, dimulai hari Kamis. Pada pagi hari Ahadnya, mereka bersiap-siap dan duduk menunggu apa yang akan terjadi atas diri mereka pada hari itu.
Ketika matahari terbit, datanglah suara keras mengguntur (halilintar) dari langit di atas mereka, dan digoyang gempa dari bawah sehingga mayatmayat bergelimpangan di tempat-tempat mereka. Allah berfirman, yang artinya: Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur di waktu pagi, – QS al Hijr/15 ayat 83- dan firman-Nya, yang artinya: Karena itu mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan ditempat tinggal mereka. (QS al A’raf/ 7:78).
Demikianlah nasib umat yang kufur dan bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mengapakah kita tidak mengambil pelajaran?
KEHANCURAN UMAT NABI LUTH عليه السلام
Nabi Luth pergi meninggalkan tempat tinggal pamannya, yaitu Nabi Ibrahim, dan kemudian tinggal di kota Sadum (Sodom) di Palestina. Penduduk kota ini adalah penganut paganisme dan melakukan kemungkaran yang belum pernah dilakukan satu umat pun sebelum mereka.
Kemungkaran apa yang mereka lakukan? Yaitu mereka melakukan hubungan seksual sejenis (homo seksual). Nabi Luth telah mendakwahi mereka untuk beribadah hanya kepada Allah dan meninggalkan kemungkaran tersebut, namun mereka manolaknya.
Ketika Allah ingin menghancurkan mereka, maka Allah mengutus para malaikatnya dalam bentuk pemuda yang bertamu kepada Nabi Luth. Dan beliau pun merasa sempit, sebab kaumnya tidak akan membiarkan para tamunya begitu saja. Terjadilah perdebatan antara beliau dengan kaumnya yang Allah abadikan dalam firman-Nya, yang artinya:
Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan dia berkata : “Ini adalah hari yang amat sulit”. Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji.
Luth berkata: “Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal”
Mereka menjawab: “Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki”.
Luth berkata: “Seandainya aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan)”.
Para utusan (malaikat) berkata :”Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Rabbmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorang pun di antara kamu yang tertinggal, kecuali isterimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa adzab yang menimpa mereka, karena sesungguhnya saat jatuhnya adzab kepada mereka ialah di waktu Subuh; bukankah Subuh itu sudah dekat” (QS Hud/11:77-81).
Maka berangkatlah Nabi Luth bersama keluarganya meninggalkan kota tersebut. Menurut Ibnu Katsir t , keluarga yang mengikuti Nabi Luth adalah kedua putri beliau saja.3
Ketika terbit matahari datanglah adzab Allah kepada kaum Luth. Allah berfirman, yang artinya: Maka tatkala datang adzab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Rabbmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zhalim. (QS Hud/11:82-83).
Demikianlah siksaan dan bencana, ia akan menimpa kepada orang yang berbuat zhalim. Mengapakah kita tidak mengambil pelajaran?
KEHANCURAN UMAT NABI SYU’AIB عليه السلام
Umat Nabi Syu’aib adalah penduduk kota Madyan yang menyembah pohon al Aikah dan senang berbuat curang dalam takaran dan timbangan. Oleh karena itu Allah mengutus Nabi Syu’aib untuk mengajak mereka menyembah Allah dan meninggalkan perbuatan buruk tersebut. Namun mereka menolak ajakan tersebut. Allah mengisahkan dalam firman-Nya, yang artinya: Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka Syu’aib. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Ilah bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan adzab hari yang membinasakan (kiamat)”.
Dan Syu’aib berkata: “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. Sisa (keuntungan) dari Allah adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang beriman. Dan aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu”.
Mereka berkata: “Hai Syu’aib, apakah shalatmu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal”.
Syu’aib berkata: “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Rabbku dan dianugerahi-Nya aku dari pada-Nya rizki yang baik (patutkah aku menyalahi perintahnya). Dan aku tidak berkehendak mengerjakan apa yang aku larang kamu daripadanya. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.
Hai kaumku, janganlah hendaknya pertentangan antara aku (dengan kamu) menyebabkan kamu menjadi jahat hingga kamu ditimpa adzab seperti yang menimpah kaum Nuh atau kaum Shalih, sedang kaum Luth tidak (pula) jauh (tempatnya) dari kamu. Dan mohonlah ampun kepada Rabbmu kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Rabbku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih”.
Mereka berkata: “Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami”.
Syu’aib menjawab: “Hai kaumku, apakah keluargaku lebih terhormat menurut pandanganmu daripada Allah, sedang Allah kamu jadikan sesuatu yang terbuang di belakangmu. Sesungguhnya (pengetahuan) Rabbku meliputi apa yang kamu kerjakan”.
Dan (dia berkata): “Hai kaumku, berbuatlah menurut kemampuanmu, sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa adzab yang menghinakannya dan siapa yang berdusta. Dan tunggulah adzab (Rabb), sesungguhnya akupun menunggu bersama kamu”.
Dan tatkala datang adzab Kami, Kami selamatkan Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersama-sama dengan dia dengan rahmat dari Kami, dan orang-orang yang zhalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka bergelimpangan di tempat tinggalnya. Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, kebinasaanlah bagi penduduk Madyan sebagaimana kaum Tsamud telah binasa. (QS Hud/11:84-95).
Dalam surat al A’raf/7 ayat 91-92, Allah menceritakan kehancuran kaum Nabi Syu’aib dengan gempa dalam firman-Nya, yang artinya: Kemudian mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumahrumah mereka. (Yaitu) orang-orang yang mendustakan Syu’aib seolah-olah mereka belum pernah berdiam di kota itu; orang-orang yang mendustakan Syu’aib mereka itulah orang-orang yang merugi.
Juga dalam surat asy-Syu’ara/26 ayat 189-190, Allah menjelaskan kehancuran mereka dengan firman-Nya, yang artinya: Kemudian mereka mendustakan Syu’aib, lalu mereka ditimpa adzab pada hari mereka dinaungi awan. Sesungguhnya adzab itu adalah adzab hari yang besar. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah), tetapi kebanyakan mereka tidak beriman.
Demikianlah kaum Nabi Syu’aib عليه السلام , mereka diadzab dengan tiga adzab sekaligus. Yaitu gempa, suara keras mengguntur dan awan gelap yang menaungi mereka. Semua itu disebabkan karena kekufuran dan kemaksiatan mereka.
KEHANCURAN KAUM SABA‘
Diantara kaum yang diadzab Allah adalah kaum Saba’. Kisah mereka diabadikan dalam al Qur‘an untuk dijadikan pelajaran bagi kita. Allah berfirman, yang artinya: Sesungguhnya bagi kaum Saba‘ ada tanda (kekuasaan Rabb) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rizki yang (dianugerahkan) Rabb-mu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Rabb-mu) adalah Rabb Yang Maha Pengampun”.
Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan adzab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir. Dan kami jadikan antara mereka dan antara negerinegeri yang Kami limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. Berjalanlah kamu di kota-kota itu pada malam dan siang hari dengan aman.
Maka mereka berkata:”Ya Rabb kami jauhkanlah jarak perjalanan kami,” dan mereka menganiaya diri mereka sendiri; maka Kami jadikan mereka buah mulut dan Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi setiap orang yang sabar lagi bersyukur. (QS Saba‘/34:15-19).
Demikianlah Allah hancurkan Negeri Saba‘ yang makmur dan sentosa dengan banjir yang besar, sehingga kebun-kebun mereka hancur berantakan dan hanya ditumbuhi pohon-pohon Atsl dan Sidr. Ini semua menjadi pelajaran berharga bagi umat manusia.
PELAJARAN BERHARGA
Dari kisah-kisah umat-umat terdahulu, ternyata bencana dan musibah ditimpakan pada suatu umat karena perbuatan maksiat.4 Hal ini dijelaskan juga dalam banyak hadits Nabi ﷺ ,di antaranya dalam hadits Ibnu ‘Umar, bahwasanya Nabi ﷺ bersabda:
يَا مَعْشَرَ المُهَاجِرِيْنَ! خَمْسٌ إِذَا ابْتُلِيتُمْ بِهِنَّ وَأَعُوْذُ بِاللهِ أَنْ تُدْرُكُوْهُنَّ: لَمْ تَظْهَرِ الفَاحِشَةُ فِيْ قَوْمٍ قَطُّ حَتَّى يُعْلِنُوْا بِهَا إِلَّا فَشَا فِيْهِمْ الطَّاعُوْنُ وَالأَوْجَاعُ الَّتِيْ لَمْ تَكُنْ مَضَتْ ِفيْ أَسْلاَفِهِمْ الَّذِينَ مَضَوْا وَلَمْ يَنْقُصُوا المِكْيَالَ وَالمِيْزَانَ إِلَّا أُخِذُوْا بِالسِّنِيْنَ وَشِدَّةِ المَؤُنَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ وَلَمْ يَمْنَعُوْا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلَّا مُنِعُوا القَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ وَلَولَا البَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوْا وَلَمْ يَنْقُضُوا عَهْدَ اللهِ وَعَهْدَ رَسُوْلِهِ إِلَّا سَلَّطَ اللهُ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ غَيْرِهِمْ فَأَخَذُوْا بَعْضَ مَا فِيْ أَيْدِيْهِم وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللهِ وَيَتَخَيَّرُوْا مِمَّا أَنْزَلَ اللهُ إِلَّا جَعَلَ اللهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ “.
Hai orang-orang Muhajirin, lima perkara; jika kamu ditimpa lima perkara ini, aku mohon perlindungan kepada Allah agar kamu tidak mendapatinya. (1) Perbuatan keji (seperti: bakhil, zina, minum khamr, judi, merampok dan lainnya) tidaklah dilakukan pada suatu masyarakat dengan terang-terangan, kecuali akan tersebar wabah penyakit tha’un dan penyakit-penyakit lainnya yang tidak ada pada orang-orang dahulu yang telah lewat. (2) Orang-orang tidak mengurangi takaran dan timbangan, kecuali mereka akan disiksa dengan paceklik, kehidupan susah, dan kezhaliman pemerintah. (3) Orang-orang tidak menahan zakat hartanya, kecuali hujan dari langit juga akan ditahan dari mereka.
Seandainya bukan karena hewan-hewan, manusia tidak akan diberi hujan. (4) Orang-orang tidak membatalkan perjanjian Allah dan perjanjian Rasul-Nya, kecuali Allah akan menjadikan musuh dari selain mereka (orang-orang kafir) menguasai mereka dan merampas sebagian yang ada di tangan mereka. (4) Dan selama pemimpin-pemimpin (negara, masyarakat) tidak menghukumi dengan kitab Allah, dan memilih-milih sebagian apa yang Allah turunkan, kecuali Allah menjadikan permusuhan di antara mereka. 5
Oleh karena itu hendaknya kita semua kembali bertaubat dan meninggalkan semua bentuk kemaksiatan, kembali berpegang teguh dan mengamalkan ajaran Islam sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah ﷺ dan difahami para sahabat, tabi’in dan kaum salafush-shalih. Itulah jalan satu-satunya terhindar dari kehinaan. Mudah-mudahan bermanfaat.
Maraji‘:
- Taisir al Lathif al Manan fi Khulashah Tafsir al Qur‘an, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Cetakan ke-3, Tahun 1414 H, Tanpa penerbit.
- Shahih Qashash al Anbiya‘, Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali, Cetakan ke-1, Tahun 1422 H, Maktabah al Furqan.
Footnote
1) Taisir al Lathif al Mannan fi Khulashah Tafsir al Qur‘an, halaman 152.
2) Shahih Qashash al Anbiya’, halaman 98.
3) Shahih Qashash al Anbiya’, halaman 169.
4) Lihat Soal Jawab Majalah As-Sunnah, Edisi 01/Tahun XI/1428H/2007M, halaman 5.
5) HR Ibnu Majah no. 4019, al Bazzar, al Baihaqi; dari Ibnu ‘Umar. Dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam ash-Shahihah no. 106, Shahih at-Targhib wat-Tarhib no. 764, Maktabah al Ma’arif.
Edisi 02/Tahun XI/1428H/2007M